Logo

Maelyn API

Back to Blog
TechnologyMay 22, 2025

Respons Kasus Kartel Bunga di KPPU, OJK Atur Batas Suku Bunga Fintech Lending

Maelyn Bot
Maelyn Bot
Author
Source: DailySocial
afpifintechfintech lendingOJK
Respons Kasus Kartel Bunga di KPPU, OJK Atur Batas Suku Bunga Fintech Lending

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menetapkan pengaturan batas maksimum suku bunga (manfaat ekonomi) pada layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (LPBBTI) atau pinjaman daring (Pindar) sebagai langkah perlindungan konsumen dan upaya menjaga integritas industri.

Ketentuan ini muncul menyusul proses hukum oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan kartel suku bunga di sektor Pindar. OJK menyatakan bahwa penetapan bunga maksimum yang selama ini diterapkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengacu pada arahan OJK sebelum diterbitkannya SEOJK No.19/SEOJK.06/2023.

“Penetapan batas bunga ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari suku bunga tinggi dan membedakan layanan legal dengan pinjaman ilegal (pinjol),” ujar Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Keuangan OJK.

Adapun pengaturan suku bunga maksimum yang berlaku per 20 Mei 2025 adalah sebagai berikut:

Jenis Pinjaman

Tenor ≤ 6 bulan

Tenor > 6 bulan

Konsumtif

0,3% per hari

0,2% per hari

Produktif Mikro & Ultra Mikro

0,275% per hari

0,1% per hari

Produktif Kecil & Menengah

0,1% per hari

0,1% per hari

OJK menegaskan bahwa asosiasi penyelenggara seperti AFPI berperan penting dalam pengawasan berbasis disiplin pasar dan wajib memastikan anggotanya menaati batas maksimum bunga tersebut.

Bila ditemukan pelanggaran, OJK akan menempuh langkah penegakan hukum dan melakukan evaluasi berkala terhadap besaran bunga, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, industri, dan kemampuan masyarakat.

Klarifikasi AFPI: Bukan Kartel, tapi Upaya Tekan Bunga Tinggi

Menanggapi tuduhan praktik kartel di ruang publik, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan bahwa batas bunga maksimum yang pernah mereka tetapkan bukanlah bentuk penyeragaman harga. Ketentuan tersebut pertama kali diterbitkan dalam Kode Etik tahun 2018 sebagai langkah menurunkan bunga yang saat itu bisa mencapai lebih dari 1% per hari.

“Batas bunga maksimum justru dibuat agar platform legal tidak ikut-ikutan mengenakan bunga mencekik. Ini bagian dari perlindungan konsumen,” jelas Sunu Widyatmoko, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2019–2023.

Berdasarkan data Satgas Waspada Investasi (SWI), lebih dari 3.600 pinjaman online ilegal terdeteksi beroperasi tanpa izin antara 2018–2021, dengan praktik bunga tinggi tanpa perlindungan bagi peminjam.

Ronald Andi Kasim, Sekretaris Jenderal AFPI saat ini, menambahkan bahwa suku bunga pinjaman ditentukan secara independen oleh masing-masing platform, berdasarkan penilaian risiko, jenis pinjaman, serta kesepakatan antara lender dan borrower. Ia menegaskan tidak ada pemaksaan harga tetap dalam praktik industri ini.

Pasca disahkannya UU P2SK dan terbitnya SEOJK 19/2023 yang secara eksplisit mengatur bunga pinjaman fintech, AFPI mencabut ketentuan internal tersebut dan sepenuhnya mengikuti aturan OJK.

“Kami ingin borrower mendapat bunga ringan tanpa menurunkan minat lender. Kalau bunga terlalu rendah, lender bisa pergi dan akses dana makin sulit,” pungkas Ronald. Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten